Friday 28 September 2018

Alasan untuk Tidak Menulis

credits: unsplash
“Aku baru nyadar ada sesuatu yang kurang selama ini,” kata T, tepat beberapa jam sebelum ia pulang.
“Apa? Belum makan roti bakar belakang Dunkin?”
“Gampang banget itu sih. Bukan.”
“Hmmm.. Belum makan Mie ayam Tumini?”
“Bukan juga.”
“Terus apa?”
“Aku kangen baca tulisanmu.”

*
Sama. 
Aku juga rindu membaca tulisanku sendiri. Sudah lama nggak berkunjung di blog sendiri dan merasa sangat terobati membaca tulisanku satu bulan lalu. Tulisanku masih relevan untuk kubaca sampai sekarang.

Kadang aku heran dengan diriku sendiri, “Kok bisa ya aku sebijak itu?” Hahahaha.
But then, I am thankful for myself.

Aku merasa sangat bersyukur dengan kemampuanku untuk menulis dan menyembuhkan diri sendiri di saat sedang tidak baik-baik saja.

Ada banyak alasan yang membuatku tidak ingin menulis (di luar bahasan psikologi). Salah satunya dan yang paling kuat adalah laporan praktik kerja profesi yang menunggu diselesaikan.

Pikiranku selalu penuh oleh berbagai hal terkait praktik dan klien. 
Aku selalu tahu bahwa pikiranku butuh untuk dituangkan tidak sekadar diceritakan, tetapi juga ditulis. Namun tiap kali pikiran ingin menulis itu muncul, aku buru-buru menangkisnya dengan dalih: ada laporan yang perlu dikerjakan, nulis laporan aja dulu.

Begitu terus.
Sampai aku kelelahan sendiri menangkisnya.

Padahal menulis dan menuangkan apa yang ada dipikiran akan sangat membantuku untuk lebih tenang. Hasilnya? Aku jadi lebih nyaman saat mengerjakan laporan. Seperti sekarang ini.
*
Pada akhirnya, tiap kali ada banyak alasan untukku tidak menulis, aku akan dapat menemukan alasan untuk dapat menulis lagi, seperti hari ini.


With love,
Nisrina.

No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?