Sunday 3 December 2017

Kesalahan yang Mendewasakan: Bisakah Memaafkan Kesalahan Sendiri?

Aku pernah ngelakuin kesalahan besar dan bikin orang sakit hati,” kataku pada seorang teman di hari Jumat minggu ini. | Photo by Daniel Tafjord on Unsplash

Setelah itu aku mulai menceritakan pengalaman itu padanya.

Sebuah pengalaman yang bagiku termasuk dalam pelanggaran besar atas prinsip yang aku yakini sendiri, dua tahun lalu. Terlepas dari apa dan bagaimana sebabnya, tindakanku saat itu adalah sesuatu yang sulit untuk aku maafkan sendiri.

Kok bisa ya, kamu santai banget cerita ini.” Kata temanku setelah cukup lama kami berbincang.

Aku tertawa.
Lebih tepatnya menertawakan keterusteranganku pada teman yang sebenarnya tidak terlalu dekat denganku. Ia hanya teman sekelasku, bukan sahabat yang dapat dengan mudah aku bagi rahasia-rahasia kecilku.

Aku sendiri heran kenapa aku terdengar begitu mudah untuk bercerita. Seolah apa yang aku lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Seolah yang aku lakukan tidak pernah membuatku begitu merasa bersalah. 

Nyatanya, aku ingat bagaimana kesalahanku ini benar-benar membuat beberapa bulan hidupku terasa tidak mudah untuk dilalui.

Pernyataan temanku itulah yang membuatku kembali merenung dan menuliskan cerita ini. Pada akhirnya, aku menyadari bahwa aku sudah menerima kesalahanku. Aku sudah mau mengakui bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Hal inilah yang membuatku menjadi lebih mudah saat aku dihadapkan lagi oleh ingatan atas kejadian dua tahun lalu.

Aku ingat bahwa di bulan-bulan pertama, aku menangis.
Bukan untuk mengakui kesalahan tapi justru menolak untuk disalahkan. Aku memilih untuk mengkambinghitamkan keadaaan dan menyalahkan orang lain.

Pada bulan berikutnya, seperti fase grieving menurut Kubler Ross, aku mulai merasa marah pada diriku sendiri (Grieving stages menurut Kubler Ross: Denial-anger-bargaining-acceptance). Kemarahanku justru membuatku makin merasa bersalah dan membuatku sangat tidak nyaman menjalani aktivitas sehari-hari. Setahun kemudian, aku mulai berada dalam fase bargaining; yang menurutku terasa seperti sebuah masa kontemplasi. Menimbang-nimbang berbagai kemungkinan yang dapat aku lakukan di masa lalu, tapi nyatanya tidak aku lakukan.

Fase acceptance aku sadari terjadi di awal tahun 2017 ini. 
Aku mulai mengakui bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku mulai mengakui bahwa aku memang bisa menjadi orang yang jahat dan itu adalah sisi lain dari diriku. Aku mulai menerima bahwa apa yang sudah rusak tidak bisa dikembalikan menjadi bentuk semula.

Mengutip pernyataan dari seorang dosen di kelas:
“Kita perlu berprasangka baik terhadap semua pengalaman yang hadir beserta emosi yang singgah di dalamnya.”

Inilah yang sedang aku lakukan sekarang.
Menyadari pengalaman itu dan menerimanya baik-baik. Aku jadi sadar bahwa sebenarnya, aku selalu memiliki pilihan untuk tindakan dan keputusan yang akan diambil. Dan pilihanku saat itu adalah yang terbaik versi ‘aku di masa lalu’.

Terkadang ada perasaan malu dan kecewa yang muncul saat mengingat hal-hal yang terjadi di belakang. Tetapi aku sadar bahwa aku yang sekarang sudah berbeda dengan aku di masa lalu. Aku yang sekarang adalah aku yang belajar dari pengalaman.

Ya, pada akhirnya aku paham bahwa sebaik-baik pengalaman, adalah pengalaman yang mendewasakan. 

Tidak ada kesalahan yang baik, tapi setidaknya dari kesalahanlah aku menjadi lebih dewasa.

Love, 
Nisrina.

No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?