Sunday 24 September 2017

Apa yang terjadi ketika kita mengakui kelemahan kita?

Minggu ini adalah minggu-minggu terberat untukku sebagai mahasiswa magister profesi psikologi klinis. 

Kenapa?
Selain tugas yang datang berturut-turut, ada juga praktikum yang perlu kami lalui. Kami sudah diberitahu jauh sejak awal kuliah bahwa proses perkuliahan ini akan sangat padat, menantang dan cenderung menguras energi. Tapi kami belum benar-benar paham sebelum pada akhirnya, minggu ini datang.

Ngomong-ngomong, aku menulis ini untuk mengingatkan diriku sendiri. Untuk merekam dalam kata bahwa pada suatu waktu, di saat ini, aku sedang mengalami pergolakan hati yang cukup menguras energi.
***

Sebenarnya bukan hanya tugas yang membuatku kelelahan. Tapi proses lain yang mendahuluinya: proses membuka diri, mengungkapkan “masalah” yang dirasakan selama ini.
Iya, sebelum menjadi psikolog, kami diminta untuk “bersih-bersih”, membuka diri dan mencoba menyelesaikan permasalahan kami.

Untuk dapat benar-benar membuka diri, diperlukan dua hal: readiness dan willingness.
Yaitu kesiapan dan kesediaan. Kesiapan untuk membuka diri dan kesediaan untuk berbagi, bercerita, dan tentu saja, membuka diri.

Aku mengakui bahwa pada satu bulan pertama, aku belum siap dan cenderung menolak untuk membuka diri. Tapi aku tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku perlu membuka diri agar aku bisa berproses dengan lebih baik.

Sesulit itukah membuka diri dan mengungkapkan keresahanmu, Nis?
Yes, it is.

Siapa sih yang pengen kelihatan lemah di depan orang lain? Jarang ada, kan? Setiap orang pengen dilihat kalau hidupnya baik-baik aja, bahagia-bahagia aja. So do I. Mungkin ada beberapa yang merasa hal semacam ini mudah untuk dilakukan, tapi bagiku, dan bagi sebagian orang yang lain, hal ini tidak mudah buat dilakukan.

Apa yang membuatnya paling tidak mudah?
Mengalahkan ego sendiri untuk mengakui kelemahan kita.
Mengatakan bahwa kita sedang merasa tidak baik-baik saja dan kita sebenarnya membutuhkan bantuan.

Then it happens… the moment when I opened everything. What’s really inside my mind, what fears me, what makes me sad and break. I opened it, I could finally cry out loud about everything, which is so rare for me to do.

Yang terjadi selanjutnya adalah perasaan bercampur aduk.

Aku merasa lelah sekali. Energiku terkuras habis, sampai pada detik ini, aku masih merasakannya. Namun aku paham bahwa sebenarnya kelelahan yang aku rasakan ini adalah perasaan sedih dan kecewa yang sudah lama aku tumpuk dan aku abaikan. Ketika aku mencoba untuk mengeluarkannya, yang cenderung tidak mudah, aku jadi kehabisan energi.

Aku teringat pesan dari seorang Kakak tentang proses ini.

Katanya:
Ketika seseorang terluka satu kali, ia akan cenderung melindungi dirinya dari perasaan sakit yang sama, agar tidak terulang. Biasanya, yang dilakukan adalah dengan menutupi luka itu rapat-rapat, padahal kita sendiri belum tahu apa dan bagaimana luka itu.
Bisa jadi, ketika kita menutup luka itu rapat-rapat, bukannya sembuh, luka itu malah makin parah. Terkadang kita perlu membuka luka kita, merawatnya agar ia bisa lekas pulih.
Dan inilah yang sedang aku lakukan sekarang: berusaha untuk menyadari luka dan merawatnya, meski terasa tidak mudah.

Lalu apa sebenarnya yang terjadi setelah aku mengakui kelemahanku?
Aku jadi lebih mengerti diri aku sendiri. Aku jadi belajar untuk bisa menerima diriku sendiri, bahwa ya memang ada beberapa hal yang membuatku bersedih dan terluka. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahanku. Ada saatnya juga aku membutuhkan bantuan orang lain.

Apakah ini membuatku merasa lebih baik? 
Iya. Sedikit demi sedikit, aku mulai merasakan itu.

Aku merasa jauh lebih menghargai diriku sendiri. Aku merasa lebih jujur dan terbuka bahkan kepada diriku sendiri.
Kali ini, aku sedang ingin berterima kasih pada diriku sendiri.
Terima kasih sudah berusaha jujur, ya.

No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?