Monday, 6 February 2017

Tetralogi Buru dan Hal-hal yang Mengganggu Saya



“Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik.” 
– Rumah Kaca.

Di awal tahun ini saya merasa telah memecahkan sebuah rekor untuk diri sendiri. Kurang dari satu bulan, saya telah berhasil menyelesaikan Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. 

Ada dua alasan kuat kenapa saya menyebutnya demikian.
Pertama, jumlah halaman tiap bukunya berkisar antara 300-500, sangat-sangat tebal. Kedua, tema yang diangkat dalam buku ini cukup berat, yaitu sejarah, budaya, dan politik.

Sejujurnya, saya tidak berpikiran untuk membaca Tetralogi Buru karena temanya yang terlalu serius. Namun ketika saya melihat tumpukan tiga buku ini di rumah, saya tergoda untuk membacanya. Lagi-lagi, Papa lah yang berhasil membuat saya membaca buku ini secara tidak langsung. 

Seperti curhatan saya pada postingan sebelumnya, Tetralogi Buru adalah bentuk pelarian saya terhadap kegiatan menulis. Waktu luang saya akhir-akhir ini lebih banyak saya habiskan untuk membaca daripada menulis. Namun demikian, seiring berjalannya waktu ada lebih banyak hal yang saya dapatkan selama membaca buku ini. Sebuah “penemuan” yang membuat nurani saya terusik.

 “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran.” 
–Bumi Manusia

Tentu semua orang tahu bagaimana proses Tetralogi Buru ini dibuat. Pram menulisnya dalam masa pembuangan di Pulau Buru. Bahkan buku-bukunya sempat dilarang untuk diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1980-an. Sebuah latar yang menarik, terlebih ketika sudah membaca habis seri ini, saya semakin tahu mengapa buku ini sempat tidak boleh diterbitkan. 

Pram mengambil setting tahun 1898 hingga 1918 untuk Tetralogi Buru. Pada tiga buku awal, Minke hadir sebagai tokoh utamanya. Ia dikisahkan sebagai seorang pribumi, anak bupati kenamaan, yang merasakan pendidikan Eropa. Minke tumbuh menjadi sosok yang berada di tengah-tengah, menjunjung budaya Eropa sekaligus membenci segala kebijakan dan ulah Gubermen Belanda yang notabene berasal dari Eropa. 

Melalui Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, Pram seolah mengajak kita sebagai pembaca untuk melakukan sesuatu bagi bangsa kita. Ia menunjukkan urgensi kesadaran berbangsa secara perlahan-lahan. Di awal ia menunjukkan bagaimana tidak adilnya perlakuan orang-orang di Hindia terhadap Pribumi. Sebenar-benar posisi dan tindakan Pribumi, ia tidak akan menang jika dihadapkan dengan bangsa lainnya. 

“Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu.”
– Anak Semua Bangsa

Setelahnya, Pram seolah menunjukkan bagaimana cara untuk “melawan”. Minke belajar untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia alami melalui tulisannya yang dimuat dalam koran berbahasa Belanda. Perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa koran pun memiliki keberpihakan. Ia pun merintis surat kabar buatannya sendiri, sekaligus mulai belajar untuk membentuk organisasi. 

Dalam buku terakhir seri ini, Rumah Kaca, Jaques Pangemanann dihadirkan sebagai tokoh utama. Ia adalah peranakan yang bekerja dalam pemerintahan Gubermen. Pram mencoba membalikkan sudut pandang. Jika tiga buku sebelumnya Minke mewakili pribumi yang tertindas, kali ini Pram mencoba menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan Gubermen dibuat. 

“Dan doa-doa itu, apa artinya dia kalau bukan gerakan dari minus ke plus? Tahu kau apa artinya doa? Permohonan pada Tuhan, gerakan dari yang paling minus pada yang paling plus.” 
– Jejak Langkah.


Membaca Tetralogi Buru seperti tes ketahanan bagi saya. Sebab di satu waktu, saya harus melawan keinginan saya untuk menyerah. Secara keseluruhan buku ini sangat-sangat menarik. Pram berhasil membuat alur yang tidak mudah ditebak, dengan konflik yang tidak main-main. Meski demikian, ada
beberapa bagian yang terasa membosankan dan membuat saya kelelahan saat membacanya.

Saya hanya akan memberikan satu penilaian yang merangkum semuanya. Sebab bagi saya, Tetralogi Buru adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah tiap bukunya. 
Lalu berapa nilainya?

5 dari 5 bintang.

Untuk ulasan singkat tiap bukunya, bisa dilihat di laman Goodreads saya.

Love, 
Nisrina.

No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?