Thursday, 15 September 2016

Book Review: Menemukan Cinta dan Realita dalam Cantik itu Luka dan Pasung Jiwa


“Pikiran kerap hanya terbangun oleh tempelan-tempelan yang kita ambil atau dipaksa masuk oleh sekitar kita. Sementara tubuh selalu diperlakukan sebagai pengikut pikiran. Ia tak hadir dengan kewenangan. Maka ketika tubuh bergerak sendiri, lepas dari pikiran, selalu dianggap sebagai pembangkangan.”
– Sasana, Pasung Jiwa, halaman138.

Dua buah novel ini saya baca dalam rentang waktu yang cukup berjauhan. Cantik itu Luka, adalah buku yang baru selesai saya baca. Sementara Pasung Jiwa saya baca sekitar lima bulan lalu. Cukup lama ternyata, ckckckck.

Sejujurnya, saya merasa was-was saat membaca dua novel ini. Selain karena tebal halamannya, judul dan covernya tidak terlalu menarik perhatian saya. Terlepas dari ulasan beratus-ratus orang yang memuji dua novel ini, saya benar-benar harus memaksa diri saya untuk membaca dan menyelesaikannya.

Saya adalah tipikal orang yang mencari vakansi saat membaca buku atau menonton sebuah film. Bagi saya yang memang sudah jarang membaca, sangat penting untuk memilih bacaan yang ringan dan menghibur. Dua buku ini, di mata saya, adalah bacaan yang menyedot energi lebih banyak ketimbang aktifitas saya di luar waktu luang.

Iya, saya tahu saya begitu lemah dalam sastra tingkat tinggi.

Sebagai tambahan, hingga saat ini saya belum sanggup menyelesaikan bekisar merah, buku yang saya baca setelah Pasung Jiwa dan sebelum Cantik itu Luka. Iya, saya tahu sebaiknya saya menyelesaikan membaca buku itu sebelum benar-benar lupa dengan jalan ceritanya.

Lantas kenapa saya memutuskan untuk mengulas dua novel ini dalam waktu bersamaan?
Alasan yang paling utama: dua novel ini sama-sama menyebalkan bagi saya.
Alasan-alasan yang lainnya juga ada, seperti kemalasan saya untuk mengulasnya satu per satu dan keinginan saya untuk lekas-lekas memperbaharui kiriman dalam blog ini sebelum laba-laba benar-benar bersarang di blog ini.

Iya, dua novel ini menyebalkan bagi saya karena berhasil membuat saya bergidik ngeri sekaligus menyadarkan bahwa bagaimanapun saya menghindari, realita kehidupan yang begitu kompleks memang benar-benar ada.

“Seratus tujuh puluh dua lelaki. Yang paling tua berumur sembilan puluh dua tahun, yang paling muda berumur dua belas tahun, seminggu setelah disunat. Aku mengingat semuanya dengan baik.”
– Dewi Ayu, Cantik itu Luka, halaman 3.

Melalui Pasung Jiwa, Okky Madasari mengajak pembaca untuk berkontemplasi mengenai kebebasan. Apakah kehendak bebas benar-benar ada, ataukah kebebasan yang selama ini kita agungkan hanya sekadar kepura-puraan. Sasana, yang kemudian memutuskan untuk mengubah penampilannya seperti seorang perempuan, membuat saya sedikit paham bahwa transgender bukanlah orientasi seksual. Sama halnya seperti Jaka Wani yang sangat mencintai musik dangdut dan orkesnya.

Sementara itu, Eka Kurniawan menculik pembacanya menuju sebuah dunia ajaib melalui Cantik itu Luka. Kisah pendudukan Belanda dan Jepang serta keberadaan komunis dipaparkan melalui cara yang aneh dan ajaib. Kadang saya merasa kota bernama Halimunda benar-benar ada, kadang juga saya merasa kota ini tidak mungkin ada di belahan Indonesia bagian manapun. Paras yang ayu nyatanya dianggap Dewi Ayu, seorang pelacur yang terkenal di Halimunda, sebagai sebuah kutukan hingga ia berharap anak terakhirnya, Si Cantik, terlahir buruk rupa.

Kejahatan dan kekerasan bagi semua orang adalah sesuatu yang meresahkan. Pun saya menilai demikian, hingga saya berusaha sebisa mungkin untuk jauh-jauh bahkan mencari bacaan yang tidak sedikitpun menampilkan adegan semacam itu. Akan tetapi, Cantik itu Luka dan Pasung Jiwa membuat saya menyadari bahwa mau tidak mau saya memang harus menerima bahwa kejahatan dan kekerasan itu ada di dekat kita. Fiksi membuat saya memahami realita yang mungkin jauh lebih menyakitkan bagi mereka yang memahaminya.

Sama halnya dengan cinta yang dalam novel-novel chicklit maupun teenlit, hingga tayangan di televisi, cenderung memberikan akhir yang: happily ever after. Tidak benar-benar demikian. Atas nama cinta, orang tua ingin mengarahkan anaknya menjadi sosok yang sesuai dengan harapan mereka tanpa pernah benar-benar mendengarkan keinginan anaknya: itu yang dirasakan Sasana sejak kecil. Sementara kisah cinta yang begitu kompleks dan berakhir menyebalkan, tampak pada kehidupan Dewi Ayu dan keturunannya.

Dua novel ini menyoroti kehidupan sosial dan politik dengan segala kesemrawutannya. Sesekali terselip humor yang membuat saya berhasil terbahak meski tidak sampai cekikikan. Novel ini memang sudah beberapa tahun beredar di pasaran, namun saya baru membacanya di tahun 2016. Seperti biasa, saya akan memberikan rating dalam buku ini. Daan....

4,5 dari 5 bintang untuk Cantik itu Luka
4 dari 5 bintang untuk Pasung Jiwa

Setelah ini, saya akan mencari buku-buku yang lebih menguras energi saya untuk membaca dan memaknainya. Semoga saja kelak kisah-kisah dalam novel ini tidak lagi terjadi di dunia nyata sehingga tidak ada lagi senyum getir dan miris yang muncul sampai dengan halaman terakhir dalam novel-novel ini.

Salam hangat,

Nisrina.

2 comments:

  1. Wii Mbak Nisrina ternyata bacaanyaa~~ aku anak sastra kayanya kalah deh. Sudah baca karya Oki Madasari yang lain belum mbak, misalnya Entrok? Aku suka soalnya tidak terlalu berat ceritanya tapi teteup ada konflik batin si tokoh yang bikin mikir ke sana ke mari #eaa jangan lupa mampir di blog aku qaqa http://a-nisah.blogspot.co.id/ ^^. Anisah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Anisaaa! Ih baru lihat kamu komen di sini, hiks.. :")

      Delete

What's your opinion after reading this post?