Sunday, 19 October 2014

we see, then we judge.

image source: pinterest.com

“We do not see things as they are, we see things as we do.”



Ada banyak hal yang kita temui tiap harinya. Orang-orang, jalanan, peristiwa, langit, pagi, siang, malam, panas, dingin, lelah, sebal, marah, beban, tanggungan, cemburu, patah hati. Semuanya. 

Begitu banyak.

Kita cenderung melihat, menilai, atau menyimpulkan segala sesuatu dari sudut pandang kita sendiri. Berdasarkan nilai yang kita anut, berdasarkan apa yang kita tahu, berdasarkan apa yang kita lihat, berdasarkan keegoisan kita. Atas sebuah permasalahan, sering sekali kita melemparkan telunjuk pada orang lain. Bukan pada diri kita sendiri. Padahal, bagaimana kita memandang dan menilai sesuatu adalah kunci utama dalam hidup ini. Sekali kita menyimpulkan sesuatu dengan cara pandang kita sendiri yang sering kali salah, akan sulit bagi kita untuk mengubah cara berpikir kita.

Awalnya saya juga seperti itu. 
Setelah dua tahun lebih belajar Ilmu Psikologi, saya belajar untuk mengubah cara berpikir saya. Saya belajar untuk tidak egois, tidak dengan serta merta sok bijak atau tidak dengan cepat menyimpulkan sesuatu – tanpa mengetahui penyebab pastinya.

Tidak mudah menjadi seorang yang duduk dengan sabar mendengarkan orang yang bercerita tentang hal—yang itu-itu saja. Masih sama: masalah yang sama, dan keluhan yang sama. Tidak mudah menyembunyikan perasaan jengkel atau tidak suka pada orang lain. Tidak pernah mudah pula untuk menahan diri sendiri dari memberikan komentar atas sikap atau penampilan orang lain yang tampak di luar. Kita tidak pernah tahu apa yang membuat orang bisa bersikap demikian, namun kita tidak pernah pula mencoba untuk mencari tahu. 
Belajar psikologi membuat saya tidak buru-buru dalam menyimpulkan sesuatu dari satu sisi yang terlihat saja.

Masih ada sisi lain, entah masa lalunya, entah keluarganya, entah motif dan tujuannya. Setiap orang memiliki masalah dan alasan yang berbeda atas semua tindakan, sifat, dan sikap yang ia miliki. Dari psikologi pula, saya belajar untuk lebih bisa menerima, memaafkan, memaklumi, dan memperbaiki diri saya setiap harinya.

Saya tahu, kata-kata ini terdengar klise dan terlalu berlebihan. Satu yang pasti, belajar psikologi membuat saya lebih jujur dengan diri sendiri. Bahwa untuk semua hal yang saya tulis pada paragraf-paragraf sebelum ini, tidak akan pernah mudah bagi saya untuk dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. 

Manusia adalah tempat lupa dan salah, kita semua tahu itu.

Orang yang belajar di psikologi tidak lantas tidak pernah marah, tidak bisa sedih, tidak bisa kebingungan menghadapi masalah. Orang yang belajar psikologi butuh tempat curhat juga. Terkadang, justru belajar psikologi menjadi bumerang bagi diri sendiri. Semacam sebuah stempel yang melekat pada pemikiran setiap orang bahwa orang yang belajar psikologi pasti tidak memiliki masalah dan hidupnya selalu baik-baik saja. Inilah bagian yang tidak saya sukai dari belajar psikologi (dan menyandang predikat sebagai mahasiswa psikologi).

Your psychologist also needs a psychologist for themselves ;)

Salaaam, 
your future psychologist,

Nisrina

No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?