Sunday 15 November 2015

Aleph: Memahami Waktu untuk Menemukan Diri Sendiri

Kita adalah orang yang sesuai dengan keputusan kita sendiri. Memang mudah saja menyalahkan orang lain. Kau bisa menghabiskan seluruh hidupmu menyalahkan dunia, namun kesuksesan atau kegagalanmu sepenuhnya tergantung pada tanggung jawabmu sendiri.
– halaman 139
Mindfulness. Living here and now.
Sebuah konsep yang pernah saya pelajari di kelas semester lalu. 

Bukunya nyangkut di pohon, Nis?
Jujur, ini adalah postingan yang paling sulit untuk ditulis. Kenapa? Karena bagi saya, buku ini tidak sesimpel seperti buku pada umumnya. Yang dengan mudah dapat saya temukan poin utama bahasannya. Saya merasa kesulitan mencari titik utamanya, bukan karena tidak ada, tapi terlalu banyak.
Masa kini memiliki tantangan-tantangannya sendiri, sisi baik dan sisi buruknya. Kita tidak bisa menyalahkan ataupun berterima kasih pada masa lalu atas apa yang terjadi sekarang. Setiap pengalaman cinta baru sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengalaman-pengalaman masa lali. Pengalaman itu selalu baru.
– halaman 138

Aleph adalah buku keempatbelas dari Paulo Coelho, begitu menurut ulasan wikipedia. Dan nyatanya, sampai sekarang saya masih kebingungan, sebenarnya ini buku fiksi atau non fiksi? *kalau ada yang tahu dan mau menjawab, saya akan sangat berterima kasih.

Aleph mengisahkan perjalanan Paulo dan pengalamannya menempuh perjalanan mengunjungi kota-kota di Rusia selama 2 minggu penuh dengan kereta api. Salah satu alasan yang membuatnya melakukan perjalanan itu adalah penilaian atas hidupnya yang dirasa stagnan. Dalam perjalanan itu, ia tidak sendirian. Ada Yao, penerjemah bahasa Rusia, dan Hilal, perempuan yang datang tak diundang dan mengaku mencintainya.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah kontemplasi dari Paulo. Konsep Aleph dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dijelaskan pula menurut sudut pandang tokoh utama: Paulo.

Kata-kata seringnya memberi kita kesan palsu bahwa kita dimengerti dan paham apa yang dikatakan orang lain. Namun, begitu kita berbalik dan berhadapan langsung dengan nasib, kita mendapati bahwa kata-kata tidak cukup.
 –  halaman 223-224

Sebelum selesai membaca buku ini, saya iseng menelusuri dan membaca beberapa review yang ada di Goodreads.com. Hasilnya? Penuh dengan pro dan kontra. Ada beberapa yang menyukai buku ini, ada juga yang sangat-sangat tidak menyukainya.

Saya? 
Sepertinya berada di tengah-tengah. 
Di satu sisi, buku ini berhasil membuat saya lebih memahami perihal konsep mindfulness dan pengertian tentang waktu yang cenderung subjektif. Di sisi lain, proses membaca saya harus terganggu berkali-kali hanya karena saya terus bertanya, “Ini pengalamannya Paulo beneran, nggak sih?”

Terima kasih, Sindita dan Annas
Terlepas dari itu semua, saya merasa beruntung mendapatkan hadiah buku ini dari teman-teman terbaik. Membaca buku ini mengingatkan saya perihal proses pendewasaan. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu, kini, dan nanti. Mengenai bagaimana kita bersikap atas fenomena dan kejadian yang terjadi pada kita.


Dan ini adalah kutipan terfavorit, yang mengingatkan saya bahwa menulis sama seperti aktifitas lainnya. Sama seperti ketika orang lain meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukainya.

“Apa yang kaubutuhkan agar bisa menulis?”
“Mencintai.”
......
“Tidak seorang pun bisa belajar mencintai dengan mengikuti buku panduan, dan tidak seorang pun bisa belajar menulis dengan mengikuti kursus. “


– halaman 103

Dan berapa nilai saya untuk buku ini?
3 dari 5 bintang!





No comments:

Post a Comment

What's your opinion after reading this post?